Minggu, 30 November 2014

Rekomendasi Toko Bahan Aksesoris

Buat kamu yang suka banget pakai aksesoris, ga ada salahnya untuk sekali-kali berkreasi membuat aksesoris sesuai kebutuhan dan keinginan kamu sendiri. Selain hemat, aksesoris yang dibikin sendiri pastinya bakalan beda dari yang lain. Oya... Kalau hasil tanganmu bagus, kamu juga bisa memanfaatkan itu sebagai peluang bisnis loh...

Kalau kamu berdomisili di Jakarta, kamu ga perlu bingung soal tempat yang menjual alat dan bahan membuat aksesoris. Pasar Pagi Asemka dan Pasar Pagi Mangga Dua adalah jawabannya. Berbagai macam jenis bahan aksesoris, mulai dari printilan sampai yang segede gaban ada di sana. Untuk mencapa Pasar Pagi Asemka, kamu bisa menggunakan Commuter Line sampai Stasiun Kota. Dari situ, kamu hanya perlu jalan kaki sekitar 10 menit saja. Sedangkan, kalau kam ingin ke Pasar Pagi Mangga Dua, berjalan kaki 5 menit dari Stasiun Jayakarta sudah langsung sampai.

Di dua pasar ini, umumnya barang-barang dijual dalam ukuran gram. Sehingga sulit kalau kamu mencari barang dalam jumlah sedikit. Soal harga tentunya lebih murah dibanding dengan pasar-pasar lainnya. Kamu masih bisa tawar-menawar dengan penjual di pinggir jalan, tetapi tidak untuk yang dijual di toko, hehehe...

Tidak kalah dengan Jakarta, Solo juga punya kawasan yang khusus menjual aksesoris beserta bahan-bahan pembuatnya. Sila cari di toko-toko di daerah Coyudan - Kalilarangan sampai Singosaren. Menurut pengalaman pribadi, lebih asyik menjelajahi kawsan tersebut dengan berjalan kaki. Karena selain lalu lintas disana sering macet, ongkos buat bayar parkir bakalan lebih mahal dibandingkan harga bensinnya hahaha. Tapi serius, jalan kaki di Solo itu enak, karena ga dipepetin ama penjual kaki lima atau rebutan lahan ama motor-motor yang lagi diparkir.

Ada tiga rekomendasi toko buat kamu yang mau belanja aksesoris di Solo. Pertama, Queen. Adek-adek agaso (anak gaul solo :p) pasti ga asing deh sama toko ini. Bisa dibilang, toko ini lengkap kap kap menjual aksesoris cewek, seperti gelang, kacamata, scarf dan banyak lagi. Selain aksesoris 'jadi', toko ini juga menjual bahan-bahan pembuatnya. Dan yang paling keren, Queen memfasilitasi customer yang pengen belajar buat aksesoris secara GRATIS! Syaratnya, kamu harus beli bahan-bahannya di toko ini yang harganya lebih mahal kalau dibandingkan dengan dua toko yang akan disebutkan selanjutnya.

Toko kedua adalah Petra. Toko ini masih 'sodaraan' sama Queen. Di sini, bahan-bahan yang dijual lebih lengkap. Belanja di Petra berasa ga kenal waktu karena asyik jalan-jalan di setiap sudutnya. Lantai dasar merupakan tempat manik-manik, pita, dan rantai kalung. Sedangkan lantai dua, dikhususkan untuk kancing, tali temali, kain dan alat jahit lainnya.

Rekomendasi terakhir adalah Toko Rainbow. Letaknya sederet dengan Petra. Disini barang-barangnya juga lengkap, tetapi kamu ga bisa langsung memilih karena barang yang kamu inginkan akan diambilkan oleh mbak pramuniaga. Sabar. Itu kunci belanja disini karena kalau apes, kamu akan berhadapan dengan pramuniaga yang... ehem... agak jutek. Ehehe. Soal harga, Toko Rainbow juaranya. Walaupun hanya beda sedikit dari toko lainnya, tapi lumayan lah kalau dikumpulin buat jajan es teh.

Demikian rekomendasi toko aksesoris yang gue buat berdasarkan pengalaman pribadi seorang mahasiswa rantau yang serba pas-pasan. Selamat berkreasi... See you next post :*

Rabu, 12 November 2014

Selamat Hari Ayah

Selamat Hari Ayah, Bapak.
Maya tahu usia Bapak tidak muda lagi, tapi Bapak masih mau memeras keringat biar anak Bapak yang bungsu ini bisa sekolah setinggi apapun yang dimau.

Keluarga kita memang bukan tipe yang mudah mengungkapan cinta, tapi Maya yakin di setiap doa yang Bapak panjatkan sehabis solat, ada nama kami yang terselip di sana, dan itulah tanda cinta sebenarnya.

Terima kasih, Bapak.
Telah mendidik Maya secara tegas, tidak selalu menuruti apa yang Maya minta, dan tidak selalu memuji keberhasilanku. Maya tahu itu cara Bapak mengajarkan Maya untuk mandiri dan tidak mudah puas pada setiap pencapaian.

Sehat terus, Pak. Beri kami: Mas Eko, Ndul, Trekul, dan Maya kesempatan untuk bisa sukses dan memanusiakan hidup Bapak dan Mamah, karena selama ini Bapak dan Mamah terlalu sibuk jemput rezeki hingga tak sempat membahagiakan diri sendiri.

Maaf, di 20 tahun hidup Maya, Maya masih bergantung secara finansial pada Bapak dan Mamah. Maaf karena Maya gak pernah menyapa Bapak setiap telepon Mamah. Maaf karena masih kelu untuk ungkapkan rasa sayang secara langsung ke Bapak.

Semoga Bapak selalu sehat dan bisa berhenti merokok. Semoga rezeki Bapak makin lancar seiring lancarnya pertumbuhan uban yang tumbuh di kepala Bapak. Semoga Allah mengizinkan Maya untuk menjemput rezeki Maya, Bapak dan Mamah lewat tangan Maya sendiri, sehingga Bapak dan Mamah bisa istirahat di rumah. Aamiin.

Sabtu, 09 Agustus 2014

Produksi Liputan Bus Tingkat Solo - Part 2

Hayhayyy yuk lanjut cerita kemarin...

Beberapa kesulitan gak bisa kita hindari keberadaannya. Seperti misalnya saat ngelobi pihak Dishub untuk diwawancara. Sebelumnya, Dosen kita sudah mengingatkan bahwa ngambil narasumber dari kedinasan atau lembaga pemerintahan gitu ya harus sabar dengan birokrasinya. Ternyata memang betul. Kita cukup bingung karena dioper-oper, harus ke bapak inilah, surat dari kampus harusnya ginilah dan sebagainya. Sampai akhirnya kita ketemu sama bapak yang bersedia diwawancara. Setelah janjian ama bapaknya, gue kemudian minta nomor hp bapaknya, takut-takut kalo bapaknya lupa kan gawat. Hal demikian juga terjadi dengan teman-teman yang ngelobi ke pihak Damri. Tapi alhamdulillah, permintaan kita disanggupi sama dua lembaga tersebut.

Tiba saatnya hari pertama produksi. Menurut jadwal, hari itu kita wawancara masyarakat yang tau bus tigkat yang lama, wawancara pihak Bismania dan juga bikin bumper. Nah, berhubung gue yang difungsikan sebagai reporter rencananya akan on cam, jadi harus make up. Disinilah bencana bermula...

Tiga personel perempuan dari tim kita termasuk si Wardrobe and Make Up adalah orang yang ga penah dandan. Jadilah muka gue ini sebagai percobaan itu makhluk dua. Yang paling parah adalah saat ngelukis alis pake eyeliner!!! Gue udah ngotot harus dihapus pada percobaan pertama mereka ngelukis alis gue pake eyeliner, tapi mereka balik ngotot karena katanya alis gue yang asli itu gundul. Jahat yah :(

Akhirnya gue pasrah aja deh biar diketawain sepanjang hari ama anak-anak cowonya. Destinasi pertama kita adalah Taman Sriwedari. Sengaja kita ambil karena disitu termasuk tempat yang iconic Solo. Kemudian kita cari orang dari mulai Bapak Becak, Bapak Parkir, pengunjung, dan Bapak Satpam. Kita wawancara sebanyak-banyaknya orang biar ada serep (eh seref? ah pokonya itu) kalo ada yang salah. Kebanyakan, mereka berpendapat ingin sekali bus tingkat yang baru difungsikan sama seperti bus tingkat lama yaitu sebagai sarana transportasi. FYI, Bus Tingkat Solo yang baru atau Bus Werkudara saat ini hanya difungsikan sebagai sarana pariwisata.
Wawancara di Sriwedari

Ih culun banget gak sih gue :(
Setelah wawancara di Sriwedari, kita lalu menuju Terminal Solo Tirtonadi untuk wawancara dengan pihak Bismania. Bismania adalah suatu komunitas para penyuka bus. Kebetulan Mas Arga yang merupakan Ketua Bismania region Solo bersedia untuk diwawancara. Tadinya kita merencanakan shooting di ruang tunggu terminal, eh ternyata ga dibolehin :( padahal masuk kesitu udah bayar 500/orang. Lumayan kan...
Akhirnya kita wawancara di taman depan terminal. Berisik banget... Soalnya suara dari speaker terminal kedengeran dan masuk rekaman.
Mas Arga ngejelasin Bismania itu apa, lalu dia cerita soal bus tingkat yang lama dan yang baru seperti apa dari pandangan anak komunitas. Wawancara dengan Mas Arga menjadi daftar kegiatan terakhir yang kita lakukan di hari pertama. Besoknya kita jalan lagi untuk wawancara Damri dan Dishub.

Pagi-pagi banget kita berangkat. Hari ini gue menolak dengan tegas di-makeupin dua cewe-cewe itu. Tujuan pertama kita adalah Damri. Kantornya ternyata jauuuuuuh banget dari kampus. Tapi karena ga macet, jadi lumayan cepet nyampe sana. Damri adalah lembaga yang dulu menaungi keberadaan bus tingkat. Kita pengen tau kenapa dulu ada bus tingkat, soalnya menurut info bus tingkat cuma ada di Jakarta, Solo dan Surabaya. Ternyata menurut bapaknya, ada bus tingkat di Solo itu karena kota ini adalah kota kelahiran Bu Tien Soeharto. Romantis yah alesannya...
Lalu bapaknya cerita, bus tingkat akhirnya perlahan menghilang karena sulitnya perawatan. Istilahnya, perawatan yang dilakukan Damri waktu itu adalah dengan cara 'kanibal'. Komponen bus yang rusak dibetulkan dengan memakai komponen bus lainnya. Sehingga lama-lama ya semua bus rusak. Padahal, jumlah penumpang bus tingkat dulu itu lumayan banyak dengan ongkos Rp 500,-. Nah sayangnya, bus tingkat lama ini sudah tidak ada lagi wujudnya.

Setelah shooting di Damri, kita melanjutkan ke Dishub. Si Produser nyuruh gue untuk sms si bapaknya dulu. Setelah lama sms dikirim, akhirnya ada balesan, "Hai Maya, ini untung saya baik loh mau kasi tau kamu kalo ini bukan nomor Bapak Dishub. Lain kali simpen nomor yang betul ya..." Huanjreeeet, niatnya inisiatif malah kebelejog akibat kedodolan gue sendiri (n.n)
Untungnya bapak yang udah janjian ma kita ada di kantor. Hufffftt... Kemudian kita atur set dan mulai wawancara.
Si Bapak cerita soal keberadaan bus tingkat baru yang diberi nama Werkudara karena memang bus ini berada di bawah Dishub. Sebelumnya gue udah pernah naek ini bus waktu acara launching buku Communication Mix, emang keren banget ko busnya. Ditambah lagi karena Solo udah keren juga tata kotanya kan, jadi kalo diliat dari atas bus tuh bagus banget.

Bus Tingkat Solo Werkudara
Kata beliau, adanya bus berwaran merah ini memang ditujukan untuk sarana transportasi Solo. Werkudara yang jadi nama bus ini diambil dari nama lain tokoh pandawa yaitu Arjuna. Lanjut beliau, respon masyarakat cukup baik, ditambah lagi bus ini selain disewakan juga bisa digunakan secara umum pada weekend.
Pihak Dishub mengatakan sulit untuk memenuhi permintaan masyarakat yang menuntut Bus Werkudara sebagai sarana transportasi. Salah satu alasannya karena saat ini, sudah sedikit masyarakat yang punya kesadaran untuk menggunakan transportasi umum. Padahal perawatan bus tingkat menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Destinasi terakhir adalah Stasiun Purwosari untuk bikin closing liputan. Tempat tersebut kami ambil karena di dinding pingiran rel, terdapat mural yang bertemakan Bus Tingkat Solo.
Mural Bus Tingkat Solo
Closing harus kita dibuat buru-buru karena matahari bentar lagi akan terbenam. Disini kita kasih sedikit pesan bahwa masyarakat tidak bisa menuntut keberadaan bus tingkat sebagai sarana transportasi umum apabila tidak mau beralih dari penggunaan kendaraan pribadi. Akankah masyarakat siap? Atau memang bus tingkat memang hanya menjadi secercah kenangan yang hilang?

Salam dari kami, 'Simpel, kan?' Production





Jumat, 08 Agustus 2014

Produksi Liputan Bus Tingkat Solo - Part 1

Mood nulis lagi bagus nih, jadi mending disalurkan aja yah...
Gue sering bilang ke orang-orang kalau gue bersyukuuuur banget, selama hidup sendiri di Solo, Allah selalu buat gampang semua urusan gue. 17 tahun lamanya gue berlindung di ketek mamak, ketika harus pindah ke Solo pertengahan 2011 lalu, gue banyak parnonya. Nanti gak betah, ga doyan makanannya, ga cocok airnya, ga bisa tidur, dan lain-lain. Tapi nyatanya, sampe sekarang gue masih baik-baik aja tuh. Makan enak, tidur nyenyak. Dan yang paling gue syukurin adalah gue selalu dikelilingi orang-orang baik, yang ketika gue nanya, butuh bantuan atau apapun mereka selalu terbuka ngebantu. Termasuk soal pendidikan.

Gue adalah tipe orang yang ekspresif, kalo seneng keliatan ceria banget, kalau lagi antusias keliatan aktif banget dan kalau lagi ga suka sama orang ya keliatan sebel banget. Nah yang terakhir ini yang lumayan bikin ketar-ketir ketika gue dihadapkan dengan pekerjaan kelompok, mau itu soal tugas kuliah ataupun di organisasi. Pernah suatu saat lagi di kelas, seseorang --yang gue rada sebel gara-gara tingkahnya-- lagi presentasi di depan kelas. Awalnya gue nyantai aja ga ada niatan mau ngapa-ngapain, tapi di akhir presentasi saat mereka (dia dan kelompoknya) buka sesi tanya jawab ada gambar yang bikin gue murka semurka-murkanya! Masa dia bawa-bawa foto salah satu capres dibikin meme gitu yang ga ada sangkut pautnya sama materi yang di presentasiin dan meme-nya itu melecehkan banget. Ya okelah gue murka karena sedikit ngelibatin ke-subjektifan gue karena mendukung si Capres itu, tapi ayolah itu tuh lagi di dalam kelas dan kenapa sih harus melecehkan?! Lalu gue mengacungkan tangan, bukan untuk bertanya tapi untuk ngomel-ngomel. Setelah si orang itu ngeles dengan bilang "cuma buat lucu-lucuan kali...", toh salah satu anggota kelompoknya menyudahi dengan bilang maaf. Pfff... keliatan banget kan culunnya itu orang?

Namanya juga kuliah, pasti banyak banget tugasnya, yekan... sebagian besar sih tugasnya kelompok. Nah salah satu kelompok yang gue banggaaa banget pernah terlibat di dalamnya adalah kelompok mata kuliah JUPE alias Jurnalistik Penyiaran. Tugas akhir mata kuliah itu adalah memproduksi satu liputan jurnalistik. Temanya bebas tapi kalo ga salah harus mengangkat Kota Solo. Gue gabung sama Ella, Vita, Fiqih, Bedun dan Vanda. Kita berenam memang udah lumayan deket sebelum ada tugas ini jadi enak buat ngerjain tugasnya.

Tapi ternyata ngerjain liputan ga cukup dengan 'punya temen enak buat kerjasama'. Karena kita kelabakan banget soal alat, riset-riset, cari narasumber, bikin naskah ampe ke tahap pasca produksi kita bener-bener kesulitan. Tim kita namakan 'Simpel, Kan? Production' Nama ini diambil dari pernyataan yang selalu dibilang sama Dosen JUPE kita. Setelah beberapa kali brainstorming mengenai topik apa yang mau diangkat, mulai dari investigasi pembuatan ciu, pembuatan kerupuk karak sampe ke kesehatan pekerja kayu yang tiap hari kena polusi dari serbuk-serbuk kayu yang diserutnya. "Aku tau kok tempat orang yang suka kerja begitu," Ungkap temen gue, ga usah disebut namanya, kasian. "Ya nanti kita kasih rokok lah buat ucapan terima kasih karena mau dijadiin narasumber," Sambungnya yang diiyakan temen-temen cowo lain. "Bentar, kita mau ngangkat soal Si Bapak yang kesehatannya keganggu gara-gara serbuk katu kan?" Diriku bertanya yang kemudian dijawab iya sama para lelaki itu. "Terus kita malah mau ngasih rokok????" tewewewewww... Berhari-hari begituu terus, satu orang kasi ide lalu dibantah yang lain karena kurang gregetz. Akhirnya si ilham pun tiba, kita sepakat ngebahas Bus Tingkat Solo, ngebandingin yang dulu dan sekarang. Kita kasih judul 'Bus Tingkat, Secercah Kenangan Yang Hilang'. Hari-hari berikutnya kita isi dengan bikin proposal yang dikonsulkan ke Pak Dosen. Ada beberapa yang harus ditambah dan direvisi tapi intinya beliau setuju dengan topik kita.

Setelah dapet acc, akhirnya kita jalan buat riset pra-produksi. Dimulai dari menentukan siapa yang jadi produser, camper, scriptwriter, reporter, wardrobe dan lain-lain. Karena cuma berenam jadi ada yang dobel-dobel pegang job desk. Gue kebagian jadi reporter. Setelah itu, kita nentuin narasumber, menghubungi beberapa orang yang sekiranya sanggup buat diwawancara. Ada empat orang yang kita pilih, masyrakat yang pernah tau bus tingkat yang lama, orang komunitas Bismania, orang dari Dishub Solo, dan Damri. Abis itu diskusi tempat shooting, bikin naskah dan draft pertanyaan, lobi alat ke bagian lab kampus, dan sajabana.

Oke karena udah maghrib, postingan tentang produksi liputannya gue lanjutin di sebelah yak... Baybay

Kamis, 07 Agustus 2014

Contoh Creative Brief untuk Marketing Campaign

Kali ini, gue akan bahas (lebih tepatnya mamerin, sih...) salah satu tugas gue yang lumayan lah bisa dibilang sebagai portfolio. Ini adalah tugas creative brief dari mata kuliah Strategic Planning. Creative brief adalah semacam arahan buat tim kreatif dalam menyusun kegiatan marketing komunikasi, kaya bikin iklan, kegiatan promosi, dll.

Jadi awalnya kita disuruh berkelompok dulu maksimal 3 orang, kemudian diundi deh dapet tema untuk bikin campaign apa. Intinya kita disuruh bikin thematic campaign yaitu bertujuan sebagai pengingat bahwa brand kita itu ada. Nah, gue sekelompok ama @ellaoktafristya dan @VitaKarima  dan  kebagian bikin campaign untuk Pusat Grosir Solo (PGS) dalam rangka Hari Batik Nasional. Kita cukup beruntung dapet 'client' PGS karena itu kan ada di Solo dan udah kita kenal juga jadi ga terlalu ribet buat bikin riset-risetnya. Ini dia hasilnya:

1. Latar Belakang
Solo terkenal dengan batiknya. Banyak orang yang berasal dari berbagai daerah berbelanja batik disini. Saingan Solo dalam penjualan batik adalah Jogja, tapi kita ga mencantumkan Jogja sebagai kompetitor PGS karena terlalu luas dan nanti deskripsi target audiens (TA) juga jadi lebar. Kita ambil Pasar Klewer sebagai kompetitor.


2. Tujuan 
Tujuan campaign sudah ditentukan oleh Dosen yaitu sebagai pengingat.Kita kasih 'value' di campaign ini yaitu batik itu punya Indonesia sehingga kita harus bangga memakainya kapanpun dimanapun, tidak hanya pada saat moment-moment tertentu saja.


3. Target Audiens
Kita ambil 2 TA, pertama rumah tangga, yag kedua mahasiswa yang cinta batik. Dasarnya sih karena dua kalangan ini yang kita lihat potensial sebagai pengguna batik.




4. Discriminator
Discriminator ini adalah kalimat apa yang diinginkan kita sebagai pembuat campaign --atau lebih luas lagi-- komunikator ketika TA bersinggungan dengan campaign/produk.
5.  What to Say
WTS ini adalah seperti pesan, apa sih yang intinya pengen kita ungkapkan?
6. Reason to Believe
Beberapa alasan kenapa TA perlu/harus percaya terhadap campaign kita.
7. Consumer Insight
Ini adalah pikiran/anggapan yang ada di benak TA sebelum bersinggungan dengan campaign/produk.
8. Hal yang dipertimbangkan
Disini kita seolah-olah membuat varian baru dari campaign yang dibuat PGS dalam rangka hari batik nasional. Sehingga kita buat beberapa evaluasi dari campaign tahun lalu yang kemudian kita ubah di tahun ini.

9. Requirements
Ini adalah semacam pilihan dimana saja tempat atau media yag kita gunakan untuk mengkomunikasikan adanya campaign.

Itu dia hasil kerjaan kita bertiga, setelah dipresentasiin di depan Dosen dan teman-teman yang lain alhamdulillah masih ada salah jadi kita dapet motivasi biar belajar lagi.^^

Selasa, 08 Juli 2014

Pengalaman Pertama

Tiga tahun punya KTP, gue belum pernah sekalipun ikut nyoblos dalam pemilihan apapun. Karena memang saat umur 17 tahun, gue pindah ke luar kota buat nerusin kuliah. Males banget kan harus nyempetin pulang cuma buat nyoblos doang. Mending duit ongkos dipake buat beli makanan deh. Tapi, lain dengan Pilpres kali ini. Gue tiba-tiba antusias, tiba-tiba cari-cari informasi mengenai kandidat capres-cawapres, tiba-tiba gue ngecek nama gue di database KPU,  tiba-tiba ngajak temen-temen sepergaulan yang juga mahasiswa rantau untuk ngurus form A5, tiba-tiba gue ngerasa harus banget ikut nyoblos.

Bisa dibilang, gue ga nutup diri juga sih dengan hal yang berbau politik. Cuma selama ini gue berpendapat belum ada partai ataupun politisi yang bener-bener bisa bawa perubahan: gimana cara bikin biaya berobat yang bisa dicapai semua orang, gimana cara bikin transportasi yang bikin banyak orang mau ngegunain, gimana cara bikin harga bahan makanan ga naek pas mau lebaran, ongkos mudik, biaya sekolah, daaaaan banyak lagi. Karena gue yakin, hal-hal di atas ga bisa dilakuin sama satu orang baik, sedangkan kita tahu, susah buat percaya banyak orang yang betul-betul baik di partai-partai itu.

Nah, selama beberapa bulan ini, euforia pilpres gue lihat bukan hanya dilakukan oleh kalangan kelas menengah dengan SES A-B, tingkat pendidikan minimal S1 dan bertempat tinggal di perkotaan doang ( :p ). Gue sempet ngobrol sama banyak orang mulai dari Pak Dosen, Perwira TNI AD pas latihan buat SBC, sampai Bapak Becak waktu di pinggir jalan, Bapak Agen Bus waktu pesen tiket mudik, dan Bapak Kernet Bus yang lagi sepi penumpang. Semua ngomongin Pilpres.

Satu yang paling ngebekas adalah obrolan gue sama Pak Kernet Bus. Waktu itu, gue lagi perjalanan mau pulang ke rumah nenek, dari Solo gue harus 2x naik bus kota. Bua yang pertama gue naikin adalah bus yang ukuranya kecil. Biasanya, baru setengah perjalanan aja ini bus pasti rame sampe penumpangnya desek-desekan. Tapi hari itu ngga, gue udah kaya nyarter bus karena saking isinya cuma bertiga: gue, Pak Supir, Pak Kernet.
"Astaghfirullah, kok ya ra enek penumpang ki piye ya? (Astagfirullah, kok ga ada penumpang ini gimana ya?)" Kata Pak Kernet yang berdiri di deket pintu.
"Iya ya Pak, tumben biasanya rame," gue menimpali biar ada temen ngobrol.
"Lha iya tho, Mbak. Mau puasa kok sepi," Kemudian obrolan jadi panjang ngebahas gue asalnya dari mana mau kemana, kuliah semester berapa jurusan apa. Lalu Si Bapak nanya,
"Berarti Pilpres pulang ke Bogor, Mbak? Kalo di Bogor banyak yang milih siapa? Satu atau dua?,"
Pertanyaan si Bapak gue jawab dengan tawa, saat itu gue belum mikir ikut nyoblos atau ngga, apalagi milih siapa.
"Haha... Gak tau banyakan kemana, Pak. Kayanya sih sama aja," Lalu si Bapak cerita lagi, panjang.

"Kalo Solo pasti nomor dua, Mbak. Sejak dipegang Pak Jokowi, Solo berubah 100%,"
"Oya, Pak?"
"Loh ya iya... Kartu Sehat itu to Mbak, di kota lain termasuk kota mbak paling cuma berapa dapetnya kalo dicairkan. Di Solo bisa sampai 5juta. Itu yag bikin Pak Jokowi,"
Si Bapak terus ceritain pretasinya Jokowi di Solo. Gue jadi mikir, 'Bapak ini di awal obrolan masih ngeluh soal sepinya penumpang. lalu beberapa menit kemudian dia begitu optimis ngomongin seseorang yang bakal bawa perubahan secara nasional, terbukti dari kerjanya selama ini, hebat!'
Kesimpulan yang gue tarik dari obrolan sama Bapak Kernet tadi, gue bandingin dengan isu-isu miring mengenai Jokowi. Isu ga amanah lah, kemaruk kekuasaan lah, boneka lah. Gue yakin, yang ngebuat isu itu dan yang kemakan isu itu adalah orang-orang yang belum pernah tinggal di Solo atau Jakarta dan orang-orang kelas menengah ngehek yang belum pernah rasain susahnya mau berobat, dan susahnya mau bayar sekolah anak.

Hari-hari besoknya, gue semakin dibuat kagum sama Jokowi. Bukan karena visi-misinya (karena gue ga ngerti dan ga bisa bandingin mana yang lebih baik), tapi karena orang-orang baik non-partai yang mengelilinginya, dari banyaknya kampanye kreatif yang bikin gue tertarik, dan dari sikapnya dia ngadepin isu-isu murahan blekempen.

Pagi tadi, gue nyempetin sebut nama dia di doa gue. Bangun pagi terus mandi dan pergi ke TPS. Gue pengen ikut dalam perubahan. Gue pengen ikut dalam kebaikan yang dibangun oleh orang-orang baik. Gue pengen pilih Komandan buat orang-orang baik. Insya Allah...
Coblos giginya!

Senin, 30 Juni 2014

Mengenai Solo

Pulang kampung atau mudik adalah rutinitas wajib bagi setiap perantau. Biasanya, arus mudik paling tinggi adalah ketika mendekati Hari Raya. Tapi tidak bagi keluarga gue, karena mamah-bapak memilih Lebaran sambil tetap buka warung. Jadi, kami memutuskan untuk mudik lebih awal dari orang pada umumnya.

Perjalanan di dalam bus semalam suntuk entah mengapa selalu menarik perhatian gue saat itu. Beda banget sama sekarang, begitu nempel bangku bus bisa langsung tidur pules. Dari kecil untungnya gue bukanlah tipe anak yang gampang mabuk perjalanan, jadi gue bisa enjoy banget duduk selama kurang lebih 17 jam di dalam bus. Gue seneng liat lampu kendaraan, lampu jalan, juga lampu bangunan pinggir jalan. Gue suka liatin bangunan, plat kendaraan, tata ruang pada setiap kota-kota yang dilewatin. Satu kota favorit gue dari dulu: Solo. Lewatin kota ini, baik siang ataupun malem, panas atau hujan, macet atau lancar adalah sama indahnya. Bersih, rapih, dan apalagi ya... namanya waktu itu masih kecil, susah buat jelasin kenapa kita suka sesuatu. Pokonya ya suka aja. Sempat dalam hati gue bergumam, "suatu saat nanti, Maya harus rasain tinggal disini,"

Tahun demi tahun terlewati, rambut gue makin ikal, perut gue tambah buncit. Begitu juga kesukaan gue akan Kota Solo. Ke-identikan-nya melalui julukan Kota Budaya, semakin bikin gue greget untuk ingin tinggal disana. Sampai saat gue lulus SMA, entah apa yang menggerakkan hati gue untuk memilih Solo sebagai tempat ngelanjutin studi. Padahal gue tau, ga ada satupun temen yang bakal sekolah disana, mamah-bapak tetep di Bogor, dan Keluarga Nenek gue ada cukup jauh dari situ. Tekad gue udah bulat: kuliah di Solo.

Tuhan akhirnya memang mengirim gue ke Solo. Bener aja, sampai sekarang gue belum pernah nyesel 'terdampar' di Kota ini. Ada satu kesimpulan yang gue bikin sendiri mengenai kemajuan sebuah kota, yaitu mental penduduknya. Dan Solo, gue akuin mental penduduk sini udah lebih baik ketimbang kota-kota lain. Salah satu parameternya adalah perilaku lalu lintas mereka. Di Bogor apalagi Jakarta, udah bukan hal susah lagi kita ngeliat di tiap lampu merah, pengendara khususnya pengendara motor, bakal berhenti melebihi garis yang semestinya. Sampai tahun ketiga gue di Solo, belum pernah gue ngeliat hal seperti di atas tadi.

Di Pertigaan Loji Gandrung
Ga berhenti sampai disitu, Solo punya banyaak banget acara. Setiap bulan, Pemkot selalu nerbitin kalender acara-acara tersebut. Salah satu acara yang Solo-banget adalah Solo Batik Carnival (SBC). Tahun ini adalah penyelenggaraannya yang ketujuh. Daaan, gue bersyukur banget bisa terlibat di dalamnya walau hanya sebagai volunteer.

Untuk jadi volunteer, kita diharuskan daftar dulu ke pihak panitia. Setelah itu, kita akan dibagikan tugas yang entah berdasarkan apa mereka membagi tugas-tugas pada masing-masing volunteer. Ada yang kebagian tugas perkap, konsumsi, tanggung jawab penari, peserta, media, among tamu, dsb. Kebetulan, gue dapet tanggung jawab di TNI. Bukan hal yang mudah buat pegang bapak-bapak ini walaupun pastinya mereka lebih 'mateng' daripada yang lain ya... Dengan pembawaan mereka yang tegas dan disiplin, membuat kita para volunteer kudu gercep saat dibutuhkan. Tugas gue dan temen-temen adalah mempersiapkan peralatan dan ngukur lapangan setiap latihan. Di SBC, 150 TNI ini adalah salah satu pemain di pagelaran teatrikalnya. 

Dari SBC ini, gue belajar untuk ngurus acara yang tarafnya nasional dengan jumlah peserta ratusan. Cerita mengenai SBC bakal gue bahas di postingan selanjutnya. Dalam postingan ini, gue cuma ingin menceritakan Solo berdasar secuil sudut pandang gue. Betapa baiknya Tuhan udah mengizinkan gue untuk tinggal di Kota ini, mengenal kotanya, penduduknya beserta budaya yang tersedia.